Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ABDURRAHMAN WAHID

Abdurrahman Wahid “Gus Dur”
(Mantan Presiden RI, Tokoh Agama, Bapak Pluralisme)



Ada empat misteri Tuhan di dunia ini; yaitu Jodoh, Rezeki, Umur, dan ..... Gus Dur"

Itulah sebuah ekspresi yang menyindir sikap Abdurrahman Wahid yang sulit ditebak. Gus Dur, begitulah ia disapa adalah politisi dan tokoh masyarakat yang memberikan perbedaan, bukan saja dari sudut pandang Islam, tetapi juga Demokrasi.

"Menitipkan aspirasi kepada orang lain saja bisa, kenapa kita harus membuat wadah sendiri untuk menyalurkan aspirasi politik," katanya setelah Nahdlatul Ulama dalam Muktamarnya yang ke-27, 1984, memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU meninggalkan politik praktis. Tetapi pada hari Rabu, 20 Oktober 1999, cucu K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU itu, terpilih menjadi presiden Republik Indonesia. Artinya, ia kembali ke lingkaran politik praktis.

Lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 4 Agustus 1940. Abdurrahman Wahid yang pernah kuliah di Universitas AI Azhar, Mesir, mulai mencuat setelah terpilih menjadi ketua umum PBNU. Anak sulung dari enam bersaudara dari A. Wahid Hasyim ini sebelumnya banyak memegang jabatan sebagai penasihat tim di berbagai Departemen, diantaranya: Departemen Koperasi, Departemen Agama, dan Departemen Hankam. Tokoh yang doyan mengoleksi kaset Michael Jackson dan lagu-Iagu klasik ini juga pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta pada periode 1984-1985. Dalam Festival Film Indonesia pada tahun 1985 di Bandung, ia menjadi ketua Dewan Juri.

Kiprahnya di dunia politik bagi sebagian orang terkadang terasa membingungkan, cenderung plin-plan, dan terlalu kompromistis. Misalnya ketika pemerintah berencana akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Ketika Habibie mendirikan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di akhir tahun 1990, ia juga dengan tegas menolak bergabung. Gus Dur terkesan memberikan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi. Tapi, rantai politik Gus Dur mengayun lagi ke arah pemerintahan pada Pemilu 1997. Walaupun bisa "bergaul" dengan Megawati, saat itu, ia justru membuka jalan bagi Partai Golkar untuk berkampanye di depan massa pendukung NU.

Saat orang-orang menghujat para Tokoh Orde Baru, Gus Dur justru menemui Habibie, Wiranto, dan bahkan Soeharto. Alasannya pun masuk akal, walau sulit dipahami bagi sebagian orang, yaitu untuk membangun dialog dan mencairkan suasana.

Langkah kompromis Gus Dur, walau terkesan melawan arus, tak berpengaruh negatif terhadap perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikannya dalam naungan NU. Dalam Pemilu 7 Juni 1999, PKB berhasil menempati urutan ketiga (di bawah PDIP dan Golkar) dengan meraih suara 12%. Berdasarkan hasil itu, di atas kertas PDIP dan Golkar yang paling berpeluang menampilkan jagonya menjadi presiden. Tapi, dalam Sidang Umum MPR, koalisi Poros Tengah (PAN, PPP, dan partai-partai Islam) yang dipelopori Amien Rais mengusulkan Gus Dur sebagai calon presiden, yang akhirnya terpilih secara demokratis mengalahkan Megawati.

Gus Dur menjadi presiden hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sebelum ia dipaksa mundur terkait dengan beberapa kontroversi. Buloggate hanyalah pemicunya saja, namun faktor utama yang menyebabkan Gus Dur kehilangan dukungan adalah sikapnya yang sering melakukan kontroversi.

Betapa pun buruk prestasinya ketika menjadi presiden, Gus Dur tetap memiliki karakter unik yang berperan besar dalam proses Demokratisasi di Indonesia. Semangatnya dalam mengkampanyekan Inklusivisme, Pluralisme dan Toleransi sangat patut diacungi jempol. Energinya yang tak pernah habis untuk menjaga kebersamaan dalam kehidupan yang plural, layak kita catat dalam sejarah Indonesia. Dan humor-humornya yang selalu memberi inspirasi.

Post a Comment for "ABDURRAHMAN WAHID"