Palu Arit, Bintang Bulan, dan Tan
Tan Malaka adalah tokoh kontroversial dalam Partai Komunis. Mendukung aliansi dengan Islam, ia sering tak sepaham dengan teman seperjuangan.
SEMARANG, 25 Desember 1921. Malam semakin larut, namun suhu dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia malah memanas. Selain udara pengap oleh 1.500 orang peserta, hawa dalam ruangan juga tambah panas akibat pidato Abdul Muis, anggota Central Sarekat Islam. Dia mengungkit silat kata antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat tentang Pan-Islam, beberapa bulan sebelumnya. Muis juga mengungkap lagi kritik Komunis Internasional terhadap gerakan Pan-Islam yang di dukung sebagian anggota Sarekat.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, Ibrahim Datuk Tan Malaka, telah mengingatkan perlunya persatuan antara Partai Komunis dan Sarekat Islam. Menurut Tan, yang baru terpilih sebagai Ketua Partai Komunis, kedua partai semestinya bersatu karena tujuannya sama: mengusir imperialis Belanda.
Di mata Tan, silang pendapat kedua partai hanyalah bagian dari politik pecah belah imperialis. “Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia,” katanya. Pendapat Tan ini didukung Kiai Haji Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah di Sarekat Islam. Menurut Hadi kusumo, mereka yang memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati.
***
Ketika mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging alias Perhimpunan Sosial Demokrasi di Hindia pada 9 Mei 1914, semula Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet tidak ingin terlibat politik. Dia ingin sekadar mempropagandakan sosialisme. Namun, ketika Perhimpunan yang mayoritas anggotanya orang Belanda di Hindia makin terlibat dalam politik lokal, kebutuhan melebarkan pengaruh pun makin besar.
Usaha pertamanya menggalang kerja sama dengan Insulinde bubar dalam setahun. Sneevliet, yang semula begitu terpesona dengan karisma Dr Tjipto Mangunkusumo, pemimpin Insulinde, gagal menyeret Tjipto ke “kiri”. Belakangan, Sneevliet bahkan mengkritik Tjipto. “Dia kurang memihak kelas proletar,” katanya.
Pada saat hubungan dengan Insulinde putus, sebe narnya Perhimpunan sudah mulai melirik Sarekat Islam. Jalur masuk ke Sarekat ini terbuka lewat Suharsikin, is tri pemimpin Sarekat, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Suharsikin lah pengelola rumah inde kos yang ditempati Alimin, Musso, Sukarno, dan juga S.M. Kartosuwirjo di Surabaya. Selain tempat mondok, rumah Tjokro aminoto juga kantor pusat Sarekat. Sneevliet, Adolf Baars, dan anggota Perhimpunan seperti Semaun dan Darsono, acap terlibat diskusi rutin di rumah itu.
Penyusupan pengaruh Perhimpunan lebih mulus karena beberapa anggotanya seperti Semaun, Alimin, dan Darsono juga merangkap anggota Sarekat. Semaun, misalnya—aktivis buruh kereta api—sudah masuk ke Sarekat sejak 1914 dan sempat menjabat sebagai sekretaris cabang Surabaya.
Semangat merengkuh kelompok Islam ke dalam barisan komunis sebenarnya juga dilakukan Partai Komunis Rusia. Pada Februari 1918, tiga bulan setelah Revolusi Bolshevik, Partai Komunis Rusia membentuk komisariat khusus organisasi Islam sebagai corong propaganda ke negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Namun aliansi tak bisa mulus karena Pemimpin Partai Komunis Rusia, Vladimir Ilyich Lenin, tetap menjaga jarak dengan kekuatan Islam. “Tidak boleh melebur, tapi tetap menjaga independensi karakter gerak an proletar,” kata Lenin. Hingga pada Kongres II Komunis International pada Juli 1920, kedua kekuatan pecah, karena Komunis menilai Pan-Islam hanya memperkuat posisi para mullah.
Sikap Komunis Internasional ini mempersulit usaha Perhimpunan yang kemudian bersalin nama men jadi Partai Komunis Indonesia setelah bergabung dengan Komunis In ternasional—merebut pengaruh dalam Sa rekat Islam. Hubung an Partai Komunis Indonesia dengan Sarekat kian buruk setelah Darsono dan Baars menyerang kepemimpinan Tjokroaminoto. Itu di tambah propaganda ke lom pok anti Partai Komunis dalam Sarekat yang dimotori duo Agus Salim-Haji Fachrudin.
Adalah Tan Malaka yang terus berusaha merangkul kembali Sarekat Islam. Dia bah kan mengkritik Darsono dan Baars yang di anggapnya telah menjauhkan komunis dan Islam. Untuk merebut hati kaum muslim, Partai Komunis juga mendukung perbaikan peraturan ibadah haji.
Ketika pemimpin Muhammadiyah mengundang Tan berpidato tentang komunisme, dengan penuh semangat dia menyanggupi. Sayangnya, Tan keburu ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Hanya tiga bulan menjabat Ketua Partai Komunis, pada 29 Maret 1922, dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Tan kembali meninggalkan Indonesia menuju Belanda.
Kendati sudah jauh dari Indonesia, Tan tetap mengkampanyekan aliansi komunis-Islam. Dalam Kongres IV Komunis Internasional di Petrograd, Rusia, pada November 1922, Tan meminta mereka meralat sikap atas Pan-Islam. Menurut Tan, Pan-Islam merupakan perjuangan seluruh
Post a Comment for "Palu Arit, Bintang Bulan, dan Tan"