Surat Perintah Sebelas Maret: Sebuah penanda arus balik!
SUPERSEMAR, tidak lama setelah surat itu ditandatangani oleh Bung Karno dan kemudian diterima oleh Letnan Jenderal Soeharto, iklim politik Indonesia menjadi berubah secara drastis. Kurang dari 24 jam setelah ditandatanganinya surat itu, si penerima surat langsung membubarkan sebuah partai politik, dalam hal ini Partai Komunis Indonesia (PKI). Selanjutnya ia mengatur keanggotaan partai, menangkap belasan menteri, menyingkirkan orang-orang yang pro terhadap Bung Karno, untuk akhirnya nanti bahkan mendongkel Sang Penandatangan Surat itu sendiri dari kursi kepresidenan. Sungguh tragis.
Kesadaran dari sisi tragis itu akan makin mendalam bila kita ingat bahwa lahirnya Supersemar telah didahului oleh banjir darah sekitar setengah juta rakyat Indonesia yang tewas di tangan dan diujung senapan sesama warga negara Indonesia. Dalam pembantaian massal yang berlangsung antara minggu ketiga bulan Oktober hingga bulan Desember 1965 dan setelahnya itu, berbagai kekuatan sipil dan militer saling menopang untuk menghabisi hidup sekian banyak orang tanpa adanya proses pengadilan. Nyaris tidak ada rekam jejak kemanusiaan sebagaimana layaknya dalam sebuah masyarakat yang ingin mengedepankan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Suatu saat kita akan tahu bahwa meskipun pembunuhan itu berskala massal dan di luar hukum, hampir tidak ada satu pun pihak yang secara resmi mengklaim bertanggung jawab dan mencoba untuk mencari solusi bersama atas masalah pembantaian itu. Bahkan upaya untuk menuntut rekonsiliasi antara para korban dan pelakunya pun selalu dihalang-halangi dengan berbagai macam alasan. Benar-benar tragis.
Sebenarnya garis besar dari apa yang terjadi pada hari Jumat tanggal 11 Maret 1966 itu secara umum telah diketahui. Pagi itu, di dalam Istana Merdeka Bung Karno memimpin Sidang Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Ketika Bung Karno sedang berbicara, Brigadir Jenderal M. Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa, tiba-tiba masuk ke dalam ruang sidang, ingin memberitahu Brigadir Jenderal Amirmachmud, Pangdam V/Jaya yang juga hadir dalam sidang itu, bahwa di luar gedung ada sejumlah pasukan tak dikenal dan ini jelas menimbulkan kekhawatiran. Berhubung Brigjen Sabur tidak berhasil meminta Brigjen Amirmachmud untuk keluar, ia lalu menyampaikan catatan kepada Bung Karno, memberitahu soal pasukan tak dikenal itu. Seketika Bung Karno kelihatan sangat gugup, sehingga kemudian menyerahkan pimpinan sidang ke Waperdam II Leimena, sedang ia sendiri bersama Dokter Soebandrio bergegas meninggalkan Istana. Keduanya dengan segera naik helikopter menuju ke Istana Bogor.
Tidak lama setelah mendengar berita tentang apa yang terjadi di istana itu, Soeharto— satu-satunya menteri yang tidak hadir di saat sidang kabinet dengan alasan “sakit” mengutus 3 orang, yakni Brigadir Jenderal M. Jusuf, Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Amirmachmud, untuk mendatangi Bung Karno di Bogor. Pertemuan antara ketiga Jenderal tersebut dengan Bung Karno berakhir dengan ditandatanganinya surat perintah harian, yakni Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super-semar), dengan segala kelanjutan dan konsekuensi politik yang telah kita sebut di atas tadi.
Dilihat dengan cara demikian, kronologi lahirnya Supersemar menjadi tampak jelas dan gagasannya menjadi sangat mudah untuk diikuti. Namun demikian, kalau dikorek secara lebih jauh, ternyata ada sejumlah pertanyaan yang masih perlu untuk dicari jawabannya. Misalnya, pertama, apakah surat tersebut dibuat Bung Karno secara sukarela atau di bawah tekanan? Yang jelas proses lahirnya surat itu diawali dengan hengkangnya Bung Karno dari tengah-tengah Sidang Kabinet yang ia pimpin di Jakarta. Ia lari ke Bogor karena ia merasa keselamatan pribadinya tidak terjamin. Selain itu, yang mengusulkan diterbitkannya surat itu adalah tiga orang Jenderal militer yang ditugaskan oleh Men/Pangad Letjen Soeharto, dan bukan Bung Karno sendiri. Perlu diingat, ketiga Jenderal itu tidak hadir karena dipanggil oleh Bung Karno sebagai Pimpinan atau Panglima Tertinggi ABRI, melainkan karena adanya inisiatif dari Letjen Soeharto setelah mereka bertemu di kediaman Soeharto di Jl. H. Agus Salim 98, Jakarta.
Kedua, timbul pertanyaan siapa sebenarnya yang telah mengetik naskah asli surat itu? Apakah Bung Karno sendiri yang mendiktekannya pada seorang pengetik di Istana Bogor, ataukah surat itu sebenarnya sudah dibuat sebelumnya dan Bung Karno hanya tinggal menandatangani? Benedict Anderson, misalnya, berpendapat bahwa naskah asli surat itu ditulis di Markas Besar Angkatan Darat, sehingga kop suratnya adalah kop surat MBAD, dan bukan kop surat kepresidenan.
Ketiga, apakah surat yang sempat tersebar di kalangan elit politik dan militer waktu itu adalah surat asli yang ditandatangani langsung oleh Bung Karno ataukah hanya salinannya yang telah diubah-ubah sesuai kepentingan pihak-pihak tertentu? Ada sejumlah pendapat bahwa begitu sampai di Jakarta surat yang ditandatangani langsung oleh Bung Karno itu mengalami beberapa perubahan dan diberi tanda tangan palsu, sehingga menjadi tidak jelas lagi mana surat yang asli dan mana surat yang palsu. Di dalam Sekretariat Negara saja ada dua naskah surat berbeda dimana masing-masing surat terdiri dari satu halaman, lengkap dengan tanda tangan Bung Karno, tetapi cara pengetikan dan tanda tangannya yang agak berbeda satu dengan yang lain. Sementara itu Alm. Jenderal M. Jusuf juga memiliki naskah Supersemar “asli” dan lengkap dengan tanda tangan Bung Karno, namun dengan cara pengetikan yang juga sangat berbeda dan (anehnya) terdiri dari dua halaman. Aneh tapi nyata.
Keempat, di mana sebenarnya naskah asli dari surat perintah itu kini? Mengingat bahwa surat itu memang sangat penting sekali dan merupakan dokumen negara yang ditandatangani Presiden, kecil kemungkinan bahwa surat itu tiba-tiba hilang begitu saja. Besar kemungkinan bahwa surat itu sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Pertanyaannya, mengapa dihilangkan atau disembunyikan? Dan siapa yang harus bertanggung jawab? Mengapa semua orang yang terlibat dalam terbitnya surat itu bila ditanya soal naskah Supersemar cenderung bungkam seribu bahasa? Ketika artikel ini ditulis kebanyakan saksi dari peristiwa itu telah meninggal, kecuali Soeharto. Namun Soeharto selalu tutup mulut kalau ditanya soal naskah Supersemar. Mengapa?
Hampir dari semua pertanyaan itu sampai kini tidak terjawab secara memuaskan. Seandainyapun ada jawaban, tentu berbeda-beda. Bahkan pertanyaan tentang apakah Jenderal yang datang hari itu benar 3 orang atau 4 orang, juga masih merupakan tanda tanya. Melihat kenyataan yang seperti itu mengapa kita tidak mencoba mencari cara lain untuk melihat Supersemar? Kita tidak lagi ingin berfokus pada masalah naskah surat itu (atau naskah itu saja), melainkan pada pra-kondisi yang mencetuskan surat perintah itu serta pada berbagai dampak yang telah muncul akibat adanya bermacam-macam tindakan yang dilakukan atasnama surat perintah tersebut.
Post a Comment for "Surat Perintah Sebelas Maret: Sebuah penanda arus balik!"